Pada kesempatan kali ini pengajar.co.id akan membuat artikel mengenai Istihsan Adalah, yuk disimak ulasannya dibawah ini:
Pengertian Istihsan Adalah
Istihsan adalah sesuai dengan bahasa berarti beranggapan baik, sedangkan sesuai dengan istilah, Istihsan ialah meninggalkan Qiyas yang nyata adanya untuk menjalankan Qiyas yang tidak nyata (kabur) atau meninggalkan hukum Kulli (umum) untuk menjalankan hukum Istina’i (pengecualian) karena ada bukti bahwa menurut logika membenarkan itu. (Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman. 1986. fundamental dari Fiqh hukum Islam pembinaan. Bandung: PT. Al-Ma’arif, p. 100).
Istihsan menurut istilah ulama Malikiyah adalah untuk memberikan penekanan pada pemahaman dalil melalui istina dan didasarkan pada keringanan agama karena hukum yang bertentangan.
Makna istishan oleh ulama Hanafiyah adalah untuk berpaling kepada penentuan hukum masalah dan meninggalkan yang lain karena bukti yang lebih spesifik dari syara.
Permasalahan Istihsan
Alasan Ulama Syafi’iyah dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil:
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi’i menolak istihsan:
1) Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan “suda”, yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur’an dan sunnah.
2) Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur’an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
3) Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
4) Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.
5) Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya . Sedangkan istihsan yang dimaksud ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat.
Adapun dalil yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat 18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpendapat bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik.
Kemudian mengenai kutipan hadis diatas, mengisaratkan adanya ijma’ kaum muslimin. Sedangkan ijma merupakan hujjah yang bersumber dari dalil. Jadi hadis tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut Allah. Inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum muslimin.
Selain Imam Syafi’I kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas.
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’I ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
Sumber: http://ryanfadhilah.blogspot.com/2012/04/makalah-istihsan-masalah-masalahnya.html
Pembagian Istihsan
-
Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah.
-
Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma.
-
Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.
-
Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
-
Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
-
Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah).
Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
Contoh Kasus Istihsan
Dari penjelasan dan beberapa pembagian istihsan diatas, dapat diambil contoh sebagai berikut:
1. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan hartaanaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
2. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasa dan berakal.
Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarunguntuk membeli sesuatu? Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.
3. Orang yang di bawah perwalian tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kaarena takut hancur. Jika Ia mewakafkan hartanya untuk kekekalan, maka boleh. Istihsannya untuk kelangsungan dan tidak hancur.
4. Dilarang mendekati zinah, termasuk di dalamnya memandang wanita. Pada saatkhithbah diperbolehkan memandang wanita yang dikhithbah untuk mengekalkanpada perjodohan. Maka Istihsannya mengambil hukum yang ke dua.
5. Seseorang dititipi barang harus menganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk mengongkosi hidupnya, apabila seorang anak menitipkan barang kepada ayahnya kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untu membiayai hidupnya, maka bedasarkan Istihsan si ayah tidak wajib menggantinya, karena ia mempunyai hak mengunakan harta anaknya untuk keperluan membiayai hidupnya.
6. Dari contoh yang lain yaitu seseorang mempunyai kewenagan bertindak ukum apabila ia sudah dewasa dan berakal.
Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya untuk membeli garam ke warung? Bedasarkan Istihsan anak kecil diperbolehkan membeli barang barang yang kecil yang menurut kebiasaan yang tidak menimbulkan ke mafsadatan.
7. Air sisa binatang buas itu najis.
Bagaimana sisa burung yang buas? Bedasarkan Istihsan sisa burung yang buas tidak najis karena burung nminum dengan paruhnya jadi air liur tidak mengenai air.
8. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya.
Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu Mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf.
Alasannya mengalihkan/ mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertanian tersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/ mendatangkan manfaat apabila tidak diairi.
9. Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus.
Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/ kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam.
Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ][24] . Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang
melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya”[25] [HR.Bukhori]
10. Mengalihkan/ mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna’i (pengkecualiaan).
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw : “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
11. Istihsan yang sanad/ sandaranya berupa quwwatul atsar/ riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan
bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu samasama hewan yang dagingnya haram dimakan.
Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
12. Istihsan yang sandarannya berupa maslahat.
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan
karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
13. Istihsan berdasarkan kemaslahatan.
Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditas yang diproduksi pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah.
Akan tetapi demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama mazhab Hanafi mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk itu, baik sengaja maupun tidak.
14. Istihsan yang sandarannya berupa ijma.
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia
dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
15. Istihsan yang sandarannya berupa qiyas.
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter.
Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).
16. Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
17. Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan).
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” [28]. Namun berdasarkan ’urf , ikan itu berbeda dengan daging.
18. seorang dokter diperbolehkan melihat bagian anggota tubuh pada wilayah aurat pasien, untuk ditemukan penyakit yg mengidap di tubuhnya. Demikian ini dilakukan atas pertimbangan mashlahat dan demi kesembuhan pasien, karna jika tindakan medis dokter ini dilarang maka sama halnya mengabaikan kesehatan pasien.
19. Contoh istihsân dengan al-Qur’an. Dalam masalah wasiat, menurut kaidah umum (qiyâs) wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt :
مِ نۢ بَۢعۡدِۢ وَۢصِيَّ ةۢ يُۢوصَ ىۢ بِۢہَاۢ أَۢوۡۢ دَۢيۡ نۢ
Artinya : “….sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya…” ( QS. An- Nisa : 12 )
20. Contoh istihsân dengan hadits. Dalam kasus orang yang makan dan minum pada siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, hal ini apabila menggunakan qiyâs, puasa orang tersebut batal disebabkan memasukkan makanan atau minuman ke dalam tenggorokannya. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan dengan nas, yaitu sabda Nabi Saw. :
م نۢ نَۢسِيَۢ وَۢهُوَۢ صَۢائِ مۢ فَۢأكََلَۢ أَۢ وۢ شَۢرِبَۢ فَۢ ليُتِمَّۢ صَۢ ومَهُۢ فَۢإِنَّمَا أَۢ طعَمَهُۢ اۢللَُّّۢ وَۢسَقَاهُۢ
Artinya : “Barangsiapa yang lupa sementara dia dalam keadaan berpuasa, kemudian makan atau minum. Maka hendaknya dia sempurnakan puasanya. Sesungguuhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Macam Macam Istihsan
Berikut dibawah ini merupakan macam macam istihsan, yaitu:
-
Istihsan Qiyas.
Yaitu ada dua illat yang terdapat dalam qiyas yang salah satu darinya dijadikan dasar istihsan karena dipandang lebih baik daripada yang lain.
-
Istihsan yang menolak Qiyas,
Yaitu yang bertentangan dengan illat-illat qiyas,yang dapat pula ditinjau dari 3 bagian,yaitu :
- Istihsan sunah. Yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan suatu hadist.
- Istihsan ijma’. Yaitu suatu penetapan istihsan yang menolak qiyas karena berdasarkan ijma’.
- Istihsan dharurat. Yaitu penetapan istihsan yang bertentangan dengan qiyas karena pertimbangan darurat.
Demikianlah ulasan dari pengajar.co.id mengenai Istihsan Adalah, semoga dengan adanya artikel ini bisa bermanfaat untuk anda.